1.1 Latar Belakang Masalah
Modernisasi mengandung pengertian
pemikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat
istiadat, intuisi-intuisi lama dan sebagainya. Agar semua itu
dapat disesuaikan dengan pendapat dan keadan baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Karena
terpuruknya nilai-nilai pendidikan dilatar belakangi oleh kondisi internal
Islam yang tidak lagi menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan
ilmu yang harus diperhatikan. Selanjutnya, ilmu pengetahuan lebih banyak
diadopsi bahkan dimanfaatkan secara komprehensif oleh kaum barat yang pada masa
lalu tidak pernah mengenal ilmu pengetahuan[1].
Secara garis besar ada beberapa faktor
yang mendorong terjadinya proses pembaharuan Islam. Pertama, faktor internal
yaitu faktor kebutuhan pragmatis umat Islam yang sangat memerlukan satu system
yang benar-benar bisa dijadikan rujukan dalam rangka mencetak manusia-manusia
muslim yang berkualitas, bertaqwa, dan beriman kepada Allah. Kedua, faktor
eksternal adanya kontak Islam dengan kaum barat juga merupakan faktor
terpenting yang bisa kita lihat. Adanya kontak ini paling tidak telah menggugah
dan membawa perubahan pragmatis umat Islam untuk belajar secara terus menerus
kepada kaum barat, sehingga ketertinggalan yang selama ini dirasakan akan bisa
terminimalisir. Namun
bukan berarti pembaharuan Islam mengubah isi Al-Quran dan Hadits.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian pembaharuan ?
2.
Bagaimana
proses pembaharuan dalam Islam ?
3.
Bagaimana
upaya pembaharuan di dunia Islam ?
4.
Bagaimana
proses masuknya gerakan pembaharuan di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pembaharuan
Pembaharuan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan
paham keagamaan Islam dengan dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi madern. Dalam
bahasa Arab, gerakan pembaharuan Islam disebut tajdîd. Secara harfiah tajdîd
berarti pembaharuan dan pelakunya disebut mujaddid. Dalam pengertian tersebut, sejak awal sejarahnya, Islam
sebenarnya telah memiliki tradisi pembaharuan. Sebab ketika menemukan masalah baru, kaum
muslim segera memberikan jawaban yang didasarkan atas doktrin-doktrin dasar Al-Qur’an dan sunnah.[2]
Rasulullah pernah mengisyaratkan bahwa “sesungguhnya
Allah akan mengutus kepada umat ini (Islam) pada permulaan setiap abad
orang-orang yang akan memperbaiki-memperbaharui agamanya” (HR. Abu Daud). Meskipun demikian, istilah ini baru
terkenal dan populer pada awal abad ke-18. tepatnya setelah munculnya gaung
pemikiran dan gerakan pembaharuan Islam, menyusul kontak politik dan
intelektual dengan Barat. Pada waktu itu, baik secvara politis maupun secara
intelektual, Islam telah mengalami kemunduran, sedangkan Barat dianggap telah
maju dan modern. Kondisi sosiologis seperti itu menyebabkan kaum elit muslim
merasa perlu uintuk melakukan pembaharuan.
Dari kata tajdid selanjutnya muncul istilah-istilah
lain yang pada dasarnya lebih merupakan bentuk tajdid. Diantaranya
adalah reformasi, purifikasi, modernisme dan sebagainya. Istilah yang
bergam itu mengindikasikan bahwa hal itu terdapat variasi entah pada aspek
metodologi, doktrin maupun solusi, dalam gerakan tajdid yang muncul di
dunia Islam.
Secara geneologis, gerakan pembaharuan Islam dapat
ditelusuri akarnya pada doktrin Islam itu sendiri. Akan tetapi hsl tersebut mendapatkan momentum ketika Islam
berhadapan dengan modernitas pada abad ke-19. Pergumulan antara Islam dan
modernitas yang berlangsung sejak Islam sebagai kekuatan politik mulai merosot
pada abad ke-18 yang menyita banyak energi dikalangan intelektual muslim.
Kaitan agama dengan modernitas memang merupakan masalah yang pelik, lebih pelik
dibanding dengan masalah-masalah dalam kehidupan lain. Hal ini karena agama dan doktrin yang bersifat absolut, kekal,
tidak dapat diubah, dan mutlak kebenarannya. Sementara pada saat yang sama perubahan dan perkembangan
merupakan sifat dasar dan tuntutan modernitas atau lebih tepatnya lagi ilmu
pengerahuan dan teknologi.
2.2 Proses Pembaharuan Dalam Islam
Gerakan pembaharuan Islam telah melewati sejarah panjang.
Secara historis, perkembangan pembaharuan Islam paling sedikit telah melewati
empat tahap. Keempatnya menyajikan model gerakan yang berbeda. Meski demikian,
antara satu dengan lainnya dapat dikatakan sebuah keberlangsungan (continuity)
daripada pergeseran dan perubahan yang terputus-putus. Hal ini karena gerakan
pembaharuan Islam muncul bersamaan dengan fase-fase kemoderenan yang telah
cukup lama melanda dunia, yaitu sejak pencerahan pada abad ke-18 sampai sekarang.[3]
Proses gerakan pembaharuan Islam itu, dapat dideskripsikan
sebagai berikut:
pertama, adalah tahap gerakan yang disebut-sebut dengan revalisme pramodernis (premodernism revivalish) atau disebut juga revivalis awal (early revivalish). Model gerakan ini timbul sebagai reaksi atas merosotnya moralitas kakum muslim. Waktu itu masyarakat Islam diliputi oleh kebekuan pemikiran karena terperangkap dalam pola tradisi yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Ciri pertama yang menandai gerakan yang bercorak revivalisme pramodernis ini adalah perhatian yang lebih mendalam dan saksama untuk melakukan transormasi secara mendasar guna mengatasi kemunduran moral dan sosial masyarakat Islam. Transformasi ini tentu saja menuntut adanya dasar-dasar yang kuat, baik dari segi argumentasi maupun kultural. Dasar yang kelak juga dijadikan slogan gerakan adalah “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw” Reorientasi semacam ini tentu saja tidak hanya menghendaki adanya keharusan untuk melakukan purifikasi atas berbagai pandangan keagamaan. Lebih dari itu, pemikiran dan praktek-praktek yang diduga dapat menyebabkan kemunduran umat juga harus ditinjau kembali. Upaya purifikasi ini tidak hanya membutuhkan keberanian kaum intelektual muslim, tetapi juga mengharuskan adanya ijtihad. Tak heran jika seruan untuk membuka embali pintu ijtihad yang selama ini diasumsikan tertutup diserukan dengan gegap gempita oleh kaum pembaharu. Ciri lain gerakan ini, adalah digunakannya konsep jihad dengan sangat bergairah. Wahhabiyah berangkali merupakan contoh yang paling refresentatif untuk menggambarkan model gerakan ini dalam realitas.
pertama, adalah tahap gerakan yang disebut-sebut dengan revalisme pramodernis (premodernism revivalish) atau disebut juga revivalis awal (early revivalish). Model gerakan ini timbul sebagai reaksi atas merosotnya moralitas kakum muslim. Waktu itu masyarakat Islam diliputi oleh kebekuan pemikiran karena terperangkap dalam pola tradisi yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Ciri pertama yang menandai gerakan yang bercorak revivalisme pramodernis ini adalah perhatian yang lebih mendalam dan saksama untuk melakukan transormasi secara mendasar guna mengatasi kemunduran moral dan sosial masyarakat Islam. Transformasi ini tentu saja menuntut adanya dasar-dasar yang kuat, baik dari segi argumentasi maupun kultural. Dasar yang kelak juga dijadikan slogan gerakan adalah “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw” Reorientasi semacam ini tentu saja tidak hanya menghendaki adanya keharusan untuk melakukan purifikasi atas berbagai pandangan keagamaan. Lebih dari itu, pemikiran dan praktek-praktek yang diduga dapat menyebabkan kemunduran umat juga harus ditinjau kembali. Upaya purifikasi ini tidak hanya membutuhkan keberanian kaum intelektual muslim, tetapi juga mengharuskan adanya ijtihad. Tak heran jika seruan untuk membuka embali pintu ijtihad yang selama ini diasumsikan tertutup diserukan dengan gegap gempita oleh kaum pembaharu. Ciri lain gerakan ini, adalah digunakannya konsep jihad dengan sangat bergairah. Wahhabiyah berangkali merupakan contoh yang paling refresentatif untuk menggambarkan model gerakan ini dalam realitas.
kedua, dikenal dengan istilah modernisme klasik. Di sini
pembaharuan Islam termanifestasikan dalam pembaharuan lembaga-lembaga
pendidikan. Pilihan ini tampaknya didasari argumentasi bahwa lembaga pendidikan
merupakan media yang paling efektif untuk mensosialisasikan gagasan-gagasan
baru. Pendidikan juga merupakan media untuk “mencetak” generasi baru yang
berwawasan luas dan rasional dalam memahami agama sehingga mampu menghadapi
tantangan zaman. Model gerakan ini muncul bersamaan dengan penyebaran
kolonialisme dan imperialisme Barat yang melanda hampir seluruh dunia Islam.
Implikasinya, kaum pembaharu pada tahap ini mempergunakan ide-ide Barat sebagai
ukuran kemajuan. Meskipun demikian, bukan berarti pembaru mengabaikan
sumber-sumber Islam dalam bentuk seruan yang makin senter untuk kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Pada tahap ini juga populer ungkapan yang mengatakan
bahwa Barat maju karena mengambil kekayaan yang dipancarkan oleh al-Qur’an,
sedangkan kaum muslim mundur karena meniggalkan ajaran-ajarannya sendiri. Dalam
hubungan ini, model gerakan melancarkan reformasi sosial melalui pendidikan,
mempersoalkan kembali peran wanita dalam masyarakat, dan melakukan pembaharuan
politik melalui bentuk pemerintahan konstitusional dan perwakilan. Jelas pada
tahap kedua ini, terjadi kombinasi-kombinasi yang coba dibuat antara tradisi
Islam dengan corak lembaga-lembaga Barat seperti demokrasi, pendidikan wanita
dan sebagainya. Meski kombinasi yang dilakukan itu tidak sepenuhnya berhasil,
terutama oleh hambatan kolonialisme dan imprealisme yang tidak sepenuhnya
menghendaki kebebasan gerakan pembaharuan. Mereka ingin mempertahankan status
quo masyarakat Islam pada masa itu agar tetap dengan mudah dapat dikendalikan.
ketiga, gerakan pembaharuan Islam disebut
revivalisme pascamodernis (posmodernist revivalist), atau disebut juga
neorevivalist (new revivalist). Pada tahap itu kombinasi-kombinasi tertentu antara
Islam dan Barat masih dicobakan. Bahkan ide-ide Barat, terutama di bidang
sosial politik, sistem politik, maupun ekonomi, dikemas dengan istilah-istilah
Islam. Gerakan –gerakan sosial dan politik yang merupakan aksentusi utama dari
tahap ini mulai dilansir dalam bentuk dan cara yang lebih terorganisir. Sekolah
dan universitas yang dianggap sebagai lembaga pendidikan modern –untuk
dibedakan dengan madrasah yang tradisional- juga dikembangkan. Kaum terpelajar
yang mencoba mengikuti pendidikan universitas Barat juga mulai bermunculan. Tak
heran jika dalam tahap ini, mulai bermunculan pemikiran-pemikiran sekularistik
yang agaknya akan merupakan benih bagi munculnya tahap berikutnya.
Sejalan dengan itu, pada tahap ini muncul pandangan
dikalangan muslim, bahwa Islam di samping merupakan agama yang bersifat total,
juga mengandung wawasan-wawasan, nilai-nilai dan petunjuk yang bersifat
langgeng dan komplit meliputi semua bidang kehidupan. Tampaknya, pandangan ini
merupakan respons terhadap kuatnya arus “pembaratan” di kalangan kaum muslim. Tak
heran jika salah satu corak tahap ini adalah memperlihatkan sikap apologi yang
berlebihan terhadap Islam dan ajaran-ajarannya. Di ketiga proses itulah muncul
gerakan Tahap keempat yang disebut neomodernisme. Tahap ini sebenarnya masih
dalam proses pencarian bentuknya. Meskipun demikian, Fazlur Rahman sebagai
“pengibar bendera” neo-modernisme menegaskan bahwa gerakan ini dilancarkan
berdasarkan krtik terhadap gerakan-gerakan terdahulu. Menurut Fazlur Rahman,
gerakan-gerakan terdahulu hanya mengatasi tantangan Barat secara ad hoc. Karena
mengambil begitu saja istilah Barat dan kemudian mengemasnya dengan
simbol-simbol Islam tanpa disertai sikap kritis terhadap Barat dan warisan
Islam. Dengan sikap kritis, baik terhadap Barat maupun warisan Islam sendiri,
maka kaum muslim akan menemukan solusi bagi masa depannya.
2.3 Upaya Pembaharuan di Dunia Islam
Tanggapan
kaum muslim terhadap kemajuan yang diberikan oleh negara barat yang sering
disebut modern itu berbeda-beda. Karena tidak bisa di pungkiri lagi kemajuan
Barat dalam segala bidangnya sebagai indikasi sederhana bahwa “genderang”
modernisasi yang “ditabuh” di dunia Islam tidak dapat dipisahkan dari mata
rantai dan tranmisi terhadap prestasi kemajuan yang diukir oleh dunia Barat.
Baik modernisasi yang dilakukan hari ini sebagai langkah negara barat
yang ingin menguasai negara dan meyebarkan ideologinya.[4]
Sebagaimana
contoh dalam pendidikan , modern dianggap sebagai sesuatu yang asing,
berlebihan dan mengancam kepercayaan agama. Kaum Muslim tidak perlu jauh-jauh
dalam menemukan orang-orang Eropa yang mempunyai pendapat yang memperkuat rasa
takut mereka. Seorang penulis Inggris yaitu William Wilson Hunter berkata:
“Agama-agama di Asia yang begitu agung akan berubah bagaikan batang kayu yang
kering jika berhubungan dengan kenyataan dinginnya ilmu-ilmu pengetahuan
Barat”.
Bagi banyak
orang, kenyataan akan keungulan Eropa harus diakui dan dihadapi dari
pelajaran-pelajaran yang harus diperhatikan demi kelangsungan hidup. Seperti
contoh para pengusaha Muslim zaman kerajaan Utsmaniyah, Mesir dan Iran
berpaling ke Barat mengembangkan program-program modernisasi politik, ekonomi
dan militer yang berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi Eropa.
Meraka
berusaha menyaingi kekuatan Barat, mengembangkan militer dan birokrasi yang
modern dan piawai dan mencari ilmu pengetahuan yang menyangkut persenjataan
modern. Guru-guru Eropa didatangkan, misi-misi pendidikan dikirim ke Eropa,
dimana kaum Muslim belajar bahasa, ilmu pengetahuan dan politik. Biro-biro
penerjemah dan penerbit didirikan untuk menerjemahkan dan menerbitkan
karya-karya Barat.
Generasi
elite intelektual pun lahir-modern, terpelajar dan terbaratkan, keadaan inilah
yang mengakibatkan perubahan tersebut, dan kelompok kecil kaum elite-lah yang
melaksanakan hal ini serta merupakan pewaris utama perubahan. Hasilnya adalah
sederetan reformasi militer, administrasi, pendidikan ekonomi, hukum dan
sosial, yang sangat dipengaruhi dan diilhami oleh Barat untuk “Memodernkan” masyarakat Islam.
Modernisasi
melalui model-model Barat yang diaplikasikan oleh penguasa Muslim terutama
motivasinya adalah keinginan untuk memperkuat dan memusatkan kekuasaan mereka,
bukan untuk berbagi. Akibat utama modernisasi adalah timbulnya kaum elite baru
dan perpecahan umat Islam, yang tampak dalam sistem-sistem pendidikan dan
hukum.
Di kalangan
orientalis sendiri (Gibb dan Smith), menilai reaksi modernisasi yang dilakukan
di dunia Islam lebih cenderung bersifat “Apologetis” terhadap Islam dari berbagai
tantangan yang datang dari kaum kolonial dan misioneris. Kristen dengan
menunjukkan keunggulan Islam atas peradaban barat, dan juga modernisasi dipandang
sebagai “Romantisisme” atas
kegemilangan peradaban Islam yang memaksa Barat untuk belajar di dunia Islam.
Akan tetapi,
sesudah itu Barat bangun dan maju, bahkan dapat mengalahkan dan mengusai dunia
Islam sehingga menarik perhatian ulama dan pemikiran Islam untuk mengadopsi
kemajuan Barat tersebut termasuk modernisasinya.
Dari data
historis inilah nampaknya di kalangan sarjana Muslim tidak sepakat kolektif
atau meminjam istilah Yusril “acapkali digunakan secara tidak seimbang dan jauh
dari sikap netral”, kalau modernisasi itu dikaitkan apalagi dikatakan sesaui
dengan ajaran Islam karena alasan sejarah bahwa lahirnya modernisasi pada
awalnya bukan berasal dari “rahim” ajaran Islam melainkan muncul dan
perkembangan keagamaan di kalangan Kristen, sehingga tidak mengherankan kalau
umpamanya kalangan fundamentalis, seperti Maryam Jameelah menganggap
modernisasi adalah usaha “Membaratkan” dan “Mensekulerkan” dengan menuduh tokoh modernis,
seperti Afghani (1838-1897), Abduh (1849-1905) hingga Thaha Husayn sebagai agen
Barat.
Demikian
juga sebaliknya di kalangan tokoh-tokoh yang menyebut dirinya sebagai modernis
menuduh kalangan yang menolak modernisasi sebagai “orang-orang yang dangkal dan
anti intelektual, bahkan menurut kesimpulan ‘Ali Syariati “kemacetan
pemikiran yang diakibatkan kalangan fundamental menghasilkan Islam dekaden”, sehingga
dapat dikatakan konotasi modernisasi sangat tergantung kepada siapa yang
menggunakan dan dalam konteks apa digunakan modernisasi tersebut.
Penetrasi
dan Perkembangan Modernisasi di Dunia Islam Dapat dipastikan bahwa penetrasi
dan perkembangan modernisasi di dunia Islam terjadi setelah adanya koneksasi
dengan Barat dalam rentang waktu yang sangat panjang.
Koneksasi
yang diduga kuat mengilhami lahirnya modernisasi di dunia Islam dengan
dikenalnya seperangkat gagasan Barat pada permulaan abad ke-XIX yang dalam
sejarah Islam disebut sebagai permulaan periode modern. Koneksasi ini juga
membawa fenomena baru bagi dunia Islam seperti diperkenalkannya rasionalisme,
nasionalisme, demokrasi dan sebagainya yang semuanya menimbulkan “Goncangan Hebat” bagi para pemimpin dunia Islam,
bahkan diantara sebagiannya ada yang tertarik dengan gagasan yang “dihembuskan”
Barat tersebut yang secara pelan-pelan mulai mempelajarinya dan pada akhirnya
berubaha untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan umat Islam.
2.4 Proses Masuknya Gerakan
Pembaharuan di Indonesia
Adapun proses masuknya gerakan pembaharuan di Indonesia bisa
melalui berbagai cara diantaranya [5]:
1.
Melalui peran mahasiswa, bahwa
mahasiswa yang menuntut ilmu di luar negeri setelah menyelesaikan
pendidikannya, maka dia mentransferkan ilmunya tersebut untuk warga masyarakat
di Indonesia;
2.
Melalui jalur publikasi, yakni
berupa majalah – majalah yang memuat ide – ide pembaharuan Islam bisa berasal
dari luar negeri, sehingga bacaan tersebut diterjemahkan agar mudah dipahami
oleh warga masyarakat di Indonesia;
3.
Melalui jalur haji dan mukim yakni
tradisi pemuka agama Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ketika itu
bermukim untuk sementara waktu guna menimba dan memperdalam ilmu keagamaan atau
pengetahuan lainnya. Ide – ide baru yang diperoleh tak jarang kemudian
mempengaruhi pemikiran serta dakwah di tanah air.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembaharuan Islam adalah upaya-upaya
untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan dengan perkembangan baru yang
ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi madern.
Proses
gerakan pembaharuan Islam itu, dapat dideskripsikan sebagai berikut:
pertama, adalah tahap gerakan yang disebut-sebut dengan revalisme pramodernis (premodernism revivalish) atau disebut juga revivalis awal (early revivalish). kedua, dikenal dengan istilah modernisme klasik.
pertama, adalah tahap gerakan yang disebut-sebut dengan revalisme pramodernis (premodernism revivalish) atau disebut juga revivalis awal (early revivalish). kedua, dikenal dengan istilah modernisme klasik.
ketiga, gerakan pembaharuan Islam disebut
revivalisme pascamodernis (posmodernist revivalist), atau disebut juga
neorevivalist (new revivalist).
Adapun
proses masuknya gerakan pembaharuan di Indonesia bisa melalui berbagai cara
diantaranya :
Ø Melalui peran mahasiswa
Ø Melalui jalur publikasi
Ø Melalui jalur ibadah haji
DAFTAR
PUSTAKA
Asmuni, M.
Yusran. 1998. Pengantar Studi Pemikiran dan Geerakan Pembaharuan dalam Dunia
Islam. Jakarta: Rajawali.
Nasution harun .
2003. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan
Bintang.
Rahman, Faslur. 2001.
Kebangkitan dan Pembaharuan di dalam Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.
http://aanborneo.blogspot.co.id/2012/09/makalah-gerakan-pembaharuan.html
[1] Asmuni, M. Yusran. 1998. Pengantar Studi Pemikiran dan
Geerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: Rajawali.
[2] Harun nasution. 2003.
Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
[4] http://bigg0st.blogspot.co.id/2013/02/pembaharuan-islam_25.html
[5] http://aanborneo.blogspot.co.id/2012/09/makalah-gerakan-pembaharuan.html