Senin, 16 Mei 2016

Resensi Buku “Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab

Resensi Buku “Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab

image
Judul Buku : Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter & Beradab
Pengarang : Dr. Adian Husaini
Penerbit : Cakrawala Publishing
Tahun Terbit : 2011
Tebal :  xxvi + 188 halaman
Agar Pendidikan Karakter Tak Hanya Jadi Slogan
Pendidikan karakter, akhir-akhir ini masih menjadi perbincangan hangat di dunia pendidikan Indonesia. Gagasan pendidikan karakter ini menjadi harapan banyak akademisi, orang tua dan guru, sebab selama ini proses pendidikan dirasakan belum cukup berhasil membangun karakter jiwa yang baik. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah. Contohnya  banyak pakar bidang moral yang sehari-hari mengajar tentang kebaikan, tetapi perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil, di sekolah anak-anak diajarkan menghapal tentang bagusnya sikap jujur, berani, kerja keras, kebersihan, dan jahatnya kecurangan. Tetapi nilai-nilai kebaikan itu diajarkan dan diujikan sebatas pengetahuan di atas kertas dan dihapal sebagai bahan yang wajib dipelajari. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi penerapan pendidikan karakter di semua jenjang oleh kemendiknas.
Terlepas dari apa yang digagas oleh pemerintah mengenai pendidikan karakter. Apakah kita sebagai muslim pernah berpikir apakah gagasan karakter saja cukup untuk membangun generasi bangsa Indonesia kita, terutama generasi muslim? Buku ini menjelaskan sedikit problema pendidikan Indonesia, khususnya tentang konsepsi pendidikan karakter. Penulis buku ini berpendapat bahwa karakter saja tidak cukup, tapi harus beradab. Bangsa Cina dan Jepang, yang mayoritas penduduknya adalah orang komunis dan atheis dapat maju sebagai hasil dari pendidikan karakter. Lalu di manakah letak perbedaan antara muslim dan non-muslim yang berkarakter? Bagi muslim, dia bisa juga dan bahkan harus berkarakter mulia. Tetapi bagi seorang muslim bukan hanya menjadi seorang yang berkarakter namun juga harus menjadi seorang yang berkarakter dan beradab.

Istilah adab juga merupakan salah satu istilah dasar dalam Islam. Istilah adab dapat kita temukan dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Misalnya bisa dilihat dari hadits yang diriwayatkan oleh Anas ra, Rasulullah bersabda: “Akrimuu auladakum, wa-ahsinuu adabahum”– Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka. (HR Ibnu Majah). Adapun yang dimaksud dengan adab menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah  pengenalan dan pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang. Manusia yang beradab terhadap orang lain akan paham bagaimana mengenali dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Dengan adab pula seorang muslim akan dapat menempatkan karakter pada tempatnya, kapan dia harus jujur, kapan dia boleh berbohong, untuk apa dia bekerja dan belajar dengan keras. Dalam pandangan Islam, jika semua itu dilakukan untuk tujuan-tujuan pragmatis duniawi, maka tindakan itu termasuk kategori tidak beradab atau biadab. Jadi setiap muslim harus berusaha menjalani pendidikan karakter, sekaligus menjadikan dirinya sebagai manusia beradab.
Islam memandang kedudukan ilmu sangatlah penting, sebagai jalan mengenal Allah dan beribadah kepadanya. Ilmu juga satu-satunya jalan meraih adab. Dan dengan adab inilah, seorang muslim dapat menmepatkan karakter pada tempatnya. Seperti yang dikatakan oleh ilmuwan besar muslim, Imam al-Ghazali, “Dengan ilmu, manusia tahu jalan yang ia tahu bagaimana cara mendakinya; tahu bagaimana mengatasi halangan dan rintangan; dan tatkala suatu ketika dia tergelincir dia pun tahu, bagaimana dia harus bangkit lagi, dan mendaki lagi menuju puncak taqwa dan bahagia”.
Mengapa ilmu? Tidak ada satu peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu. Tradisi mencari ilmu sudah dicontohkan oleh sahabat-sahabat Rasulullah terutama sahabat yang terkenal dengan sebutan ahlu suffah, kemudian diikuti oleh para tabiin dan para ulama. Semangat mereka dalam mencari ilmu sudah banyak dikisahkan dalam buku-buku sejarah, bagaimana Imam Bukhari harus berjalan ribuan bahkan jutaan kilometer dan harus meninggalkan kampung halamannya ke negeri-negeri yang jauh untuk hanya mencari sebuah hadits Rasulullah saw. Imam Syafi’i sudah hapal al-Qur’an pada usia 7 tahun dan hapal kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik pada usia 10 tahun. Prof. Wahbah az-Zuhaili penulis Tafsir al-Munir pernah ditanya, berapa jam beliau membaca dan menulis, beliau menjawab: Tidak kurang dari 16 jam sehari. Terus bagaimana dengan kita sekarang?
Islam menempatkan ulama pada posisi yang sentral, bahkan ulama disebut oleh Rasulullah saw, sebagai pewaris dari Nabi dengan warisannya adalah ilmu. Selain untuk mengajarkan kembali ilmu yang telah dimiliknya, ulama juga mempunyai peranan sebagai kontrol sosial baik masyarakat ataupun penguasa. Para ulama di masa lalu juga sering mendapat ujian hidup yang berat, banyak dari mereka yang yang mendapat penyiksaan dari masyarakat bahkan dari penguasa yang tidak sesuai dengan pemikirannya. Keteguhan dan ketinggian ilmu para ulama itulah yang berjasa besar dalam menjaga kemurnian agama Islam yang kita warisi dewasa ini.
Islam sebagai sebuah asas pendidikan telah berhasil membentuk pribadi pribadi teladan dalam sejarah dan menjadi panutan umat di antaranya adalah Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Mohammad Natsir, Pangeran Diponegoro, dan masih banyak yang lainnya. Namun terkadang sejarah mengenai seorang tokoh harus ditelusuri lebih jauh, contohnya adalah bagaimana kita sebagai seorang muslim membuat pendidikan sejarah sesuai dengan faktanya, dari kasus penokohan R.A. Kartini yang menuai protes dari sebagian sejarahwan yang melakukan penelitian bahwa R.A. Kartini merupakan tokoh buatan dari pemerintahan Belanda atau kasus-kasus lainnya yang mendiskreditkan Islam. Sehingga perlu rasanya untuk dilakukan islamisasi di berbagai cabang ilmu contohnya adalah islamisasi pendidikan sejarah.
Satu hal yang lain yang menjadi tantangan bagi pendidikan Islam masa kini adalah liberalisasi pendidikan Islam. Liberalisasi pada dasarnya adalah memisahkan antara kepentingan dunia dengan agama, memisahkan antara pendidikan dengan agama, negara dengan agama, dan sebagainya.
Dewasa ini banyak dosen-dosen yang berada di dalam perguruan tinggi Islam yang lebih mengagung-agungkan kaum orientalis yang merupakan kaum liberalis, mereka sangat bangga mengadopsi metode Islam ala orientalis. Bahkan mereka yang menghancurkan Islam dari dalam dan selalu mengkritik dan menjatuhkan Islam. Ironisnya para kader orientalis kini telah menjadi penguasa besar di berbagai kampus. Ada yang menjadi rektor, profesor, dekan, dan dosen yang menentukan kurikulum dan jabatan di kampus.
Inilah salah satu tantangan terberat yang sedang dan akan dihadapi umat Islam Indonesia dan juga umat Islam di berbagai belahan dunia yang lain. Para tokoh Islam telah berjuang sekuat tenaga untuk mendirikan perguruan-perguruan tinggi Islam dengan tujuan mulia. Tentu merupakan suatu musibah besar jika kampus-kampus ini kemudian dibajak oleh para orientalis untuk mencetak kader-kader yang aktif meruntuhkan bangunan Islam. Padahal, pada pasal 2, Perpre No 11 tahun 1960, tentang pembentukan IAIN disebutkan, bahwa tujuan pembentukan IAIN adalah: “IAIN tersebut bermaksud untuk memberi pengadjaran tinggi dan mendjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang Agama Islam.”
Sudah saatnya seluruh jajaran pejabat, pengelola dan pelaksana pendidikan Islam melakukan intropeksi yang serius dan berani melaukan terobosan besar agar studi Islam menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Buku ini secara lugas menegaskan kembali bahwa tujuan utama dari Pendidikan Islam ialah untuk mencetak manusia-manusia yang baik. Jika orang itu memiliki kecerdasan tinggi, maka seharusnya dia diarahkan menjadi ulama atau cendikiwan yang baik. Jika kualitas intelektual anak didik itu pas-pasan, maka harus diarahkan menjadi pekerja yang baik. Dia biasa menjadi pedagang kaki lima yang baik, tukang las yang baik, teknisi komputer yang baik, ataupun petugas kebersihan yang baik.
Setiap manusia diberikan peran oleh Allah sesuai potensi yang dimilikinya. Di akhirat, semua akan mempertanggungjawabkan seluruh amanah yang diterimanya. Para guru, praktisi pendidikan bahkan orang tua harus membaca buku ini. Meski buku ini tidak disusun secara sistematis, namun inti sari buku ini menguak dengan sangat jelas problem dan solusi pendidikan karakter perspektif Islam. Untuk para guru, buku ini bisa menjadi bahan pengayaan untuk mengembangkan praktik pendidikan karakter sesuai dengan subjek yang mereka ajarkan di sekolah

1 komentar: